1. BERAT JENIS DAN KOMPOSISI SAMPAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Praktikum
Adapun tujuan praktikum dalam Pengelolaan
Buangan Padat ini adalah untuk mengetahui berat jenis, dan komposisi sampah yang
dihasilkan Kelurahan Belakang Pondok yang digunakan sebagai
data perencanaan dan pengelolaan
sampah di kelurahan tersebut.
1.2 Prinsip Praktikum
Untuk mengetahui berat jenis,
timbulan, dan kompoisi sampah, dalam melakukan metode sampling didasarkan
kepada SNI 19-3964-119.
1.
Berat Jenis
Sampah diukur berat dan volumenya dalam suatu wadah yang diketahui
volumenya.
2.
Komposisi
Sampah dipilah-pilah
berdasarkan komponennya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Buangan padat atau sampah adalah segala
sesuatu yang tidak diinginkan keberadaannya oleh manusia pada waktu tertentu.
Pada awalnya sampah tidaklah menjadi masalah bagi manusia dan lingkungan karena
sampah yang dibuang ke tanah karena
jumlahnya yang sedikit sehingga masih dapat diolah
sendiri oleh alam, namun sekarang jumlah manusia yang membuang sampah tersebut jauh lebih kecil
dibandingkan dari luas area tanah penerimanya sehingga
dibutuhkan sebuah bentuk pengolahan oleh manusia agar tidak menimbulkan dampak
terhadap manusia dan lingkungan.
Sampah merupakan buangan padat atau setengah
padat terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang kehadirannya tidak
diinginkan atau tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak mengganggu
lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (SNI 19-2454-1991).
Sumber sampah dapat berasal dari kegiatan
penghasil sampah seperti pasar, rumah tangga, pertokoan, penyapuan jalan,
taman, atau tempat umum lainnya dan kegiatan lain dimana sampah tersebut berkemungkinan
mengandung limbah berbahaya, seperti sisa baterai, sisa oli/minyak rem mobil,
sisa bekas pemusnah nyamuk, sisa biosida tanaman dan sebagainya.
Sistem pengelolaan persampahan terbagi atas dua jenis, yaitu ( Damanhuri, 2004):
1.
Pengelolaan individu
2.
Pengelolaan perkotaan
Sistem pengelolaan persampahan ini mempunyai
5 komponen aspek, yaitu:
a.
aspek teknis operasional;
b.
aspek pengaturan (legal);
c.
aspek pembiayaan;
d.
aspek institusi;
e.
aspek peran serta masyarakat.
Data mengenai timbulan, komposisi, dan karakteristik sampah merupakan hal
yang sangat menunjang dalam menyusun sistem pengolahan persampahan di suatu
wilayah dan data tersebut harus tersedia agar dapat disusun suatu alternatif
sistem pengolahan sampah yang baik.
Menurut Damanhuri (2004) sampah
dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal seperti dibawah ini, yaitu:
1.
Klasifikasi sampah berdasarkan sumbernya antara lain:
a.
Sampah permukiman;
b.
Sampah daerah komersil;
c.
Sampah institusi;
d. Sampah konstruksi dan pembongkaran
bangunan;
e.
Sampah fasilitas umum;
f.
Sampah kawasan industri;
g.
Sampah pertanian.
2. Berdasarkan
cara penanganan dan pengolahan sampah dibedakan berdasarkan:
a.
Komponen yang mudah membusuk;
b. Komponen bervolume besar dan mudah terbakar;
c. Komponen bervolume besar dan sulit terbakar;
d. Komponen kecil dan sulit terbakar;
e.
Wadah bekas;
f.
Tabung
bertekanan/gas;
g.
Serbuk dan
abu;
h. Lumpur baik organk maupun non organik;
i.
Puing bangunan;
j.
Kendaraan terpakai;
k.
Sampah radioaktif.
3. Klasifikasikan sampah dari negara industri
dibedakan atas:
a.
Sampah organik mudah membusuk (garbage);
b.
Sampah organik tak membusuk
(rubbish);
c. Sampah sisa abu pembakaran penghangat
rumah (ashes);
d.
Sampah bangkai binatang;
e.
Sampah sapuan jalan;
f.
Sampah buangan konstruksi.
4.
Klasifikasi sampah berdasarkan komposisi antara lain:
a.
Sampah seragam seperti kertas,
karton;
b.
Sampah tidak seragam
(campuran).
5. Berdasarkan status
pemukiman sampah dibedakan atas:
a.
Sampah kota;
b.
Pedesaan.
6. Berdasarkan sifat-sifat biologis dan
kimianya sampah dapat digolongkan menjadikan:
a.
Sampah yang dapat membusuuk (garbage);
b. Sampah yang tidak membusuk (refuse);
c. Sampah berupa debu dan abu;
Berdasarkan kandungan bahan organik
dan anorganik sampah dapat digolongkan atas (Tchobanoglous, 1993):
1.
Garbage (sampah basah)
Contoh: sampah makanan.
2.
Rubbish (sampah kering)
mudah
membusuk dan terdekomposisi, serta tidak mengandung air.
Contoh:
Metal; sampah yang mengandung logam berat seperti Be, Cd, Cr, dan Hg.
3.
Dust/Ashes (sampah halus)
Contoh: serbuk gergaji asbes (dust), dan pembakaran (ashes).
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan sampah :
·
Masalah Estetika (Keindahan);
·
Menjadi Vektor Penyakit;
·
Mencemari Udara serta badan
air;
·
Serta menimbulkan bahaya
kebakaran.
Untuk menghindari hal tersebut diharapkan keseriusan pemerintah
serta keikutsertaan masyarakat dalam pengolahan persampahan. Untuk melakukan
pengelolaan persampahan yang baik harus diketahui komposisi serta karakteristik
sampah. Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya, seperti:
§ Karakteriktik Fisika, dilihat dari :
-
Kadar air;
-
Kadar Volatil;
-
Kadar Abu;
-
Nilai karbon, dll.
·
Karakteristik Kimia : khususnya
yang menggambarkan susunan kimia sampah tersebut yang terdiri dari unusr C, N,
O, P, H, S dan sebagainya.
·
Karakteristik Biologi :
Biodegrabilitas
Beberapa faktor yang mempengaruh komposisi sampah antara lain (Damanhuri,
2004):
a. Cuaca;
b. Frekuensi pengumpulan;
c. Musim;
d. Tingkat sosial ekonomi;
e. Pendapatan perkapita;
f. Kemasan produk.
Timbulan sampah yaitu jumlah atau
banyaknya sampah yang dihasilkan setiap orang per hari di suatu daerah. Timbulan sampah dinyatakan dalam (Damanhuri, 2004):
a.
Satuan
berat :
kilogram perorang perhari (Kg/org/h) atau kilogram per meter persegi bangunan
perhari (Kg/m2/h) atau kilogram per tempat tidur per hari (Kg/bed/h)
dan sebagainya;
b.
Satuan volume : liter/orang/hari (L/o/h) liter per meter persegi bangunan perhari
(L/m2/h).
Metode
Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan ini
dimaksudkan sebagai pegangan bagi penyelenggaraan pembangunan dalam melakukan
pengambilan keputusan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah untuk
suatu kota. Yang dimaksud dengan:
1. Contoh timbulan sampah adalah
sampah yang diambil dari lokasi pengambilan terpilih, untuk diukur volumenya dan
ditimbang beratnya dan diukur komposisinya;
2. Komponen komposisi sampah adalah
komponen fisik sampah seperti sisa-sisa makanan, kertas, kayu, kain-tekstil,
karet-kulit, plastik, logam besi-non besi, kaca dan lain-lain (misalnya tanah,
pasir, batu, keramik).
Persyaratan pengambilan dan pengukuran
contoh timbulan dan komposisi sampah meliputi:
1. Peraturan-peraturan dan petunjuk
di bidang persampahan yang berlaku di daerah;
2. Lokasi dan waktu pengambilan yang
dipilih harus dapat mewakili suatu kota;
3. Alat pengambil dan pengukur
contoh, yaitu:
a. Terbuat dari bahan yang tidak
mempengaruhi sifat contoh;
b. Mudah dicuci dari bekas contoh
sebelumnya.
|
Berat jenis sampah =
Dilihat dari perumusannya,
semakin berat massa sampel maka berat jenis sampah semakin besar, sedangkan
terhadap volume sampah berlaku sebaliknya, semakin kecil volume sampah maka
nilai berat jenis semakin besar.
Metoda Pengambilan dan Pengukuran
Sampel Timbulan dan Komposisi Sampah berdasarkan SNI 19 – 3964 - 1994
a.
Maksud
Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan
Dan Komposisi sampah Perkotaan ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi
penyelengaraan pembangunan dalam melakukan pengambilan dan pengukuran contoh
timbulan dan komposisi sampah untuk suatu kota.
b. Tujuan
Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan
besaran timbulan sampah yang digunakan dalam perencanaan dan pengelolaan
sampah.
c. Ruang
Lingkup
Metode ini berisi pengertian, persyaratan,
ketentuan, cara pelaksanaan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan
komposisi sampah untuk suatu kota.
d.
Pengertian
Yang dimaksud dengan contoh timbulan sampah adalah
sampah yang diambil dari lokasi pengambilan terpilih, untuk diukur volumenya
dan ditimbang beratnya dan diukur komposisinya.
Komponen komposisi sampah adalah komponen fisik
sampah seperti sisa-sisa
makanan,kertas-katon,kayu,kain-tekstil,karet-kulit,plastik,logam besi-non besi,
kaca dan lain-lain ( misalnya tanah, pasir, batu, keramik).
e.
Persyaratan-persyaratan
Pesyaratan pengambilan dan pengukuran contoh
timbulan dan komposisi sampah meliputi:
1.
Peratuaran-peraturan
dan petunjuk di bidang persampahan yang berlaku di daerah;
2.
Lokasi dan
waktu pengambilan yang dipilih harus dapat mewakili suatu kota;
3.
Alat
pengambil dan pengukur contoh. yaitu:
a. Terbuat dari bahan yang tidak mempengaruhi sifat
contoh (tidak terbuat dari logam);
b. Mudah dicuci dari bekas contoh sebelumnya.
f.
Pelaksanaan
Langkah-langkah pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi
sampah dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 2.3
Langkah-langkah Pengambilan dan
Pengukuran
Contoh Timbulan Sampah
1. Pengambilan Contoh
Lokasi
Lokasi pengambilan contoh timbulan sampah dibagi menjadi 2 kelompok utama
yaitu:
1.
Perumahan
yang terdiri dari:
·
Permanen
pendapatan tinggi;
·
semi permanen
pendapatan sedang;
·
non permanen
pendapatan rendah.
2.
Non perumahan
yang terdiri dari :
·
Toko;
·
kantor;
·
sekolah;
·
pasar;
·
jalan;
·
hotel;
·
restoran,
rumah makan;
·
fasilitas
umum lainnya.
Peralatan
dan Perlengkapan
Peralatan dan perlengkapan yang digunakan terdiri dari :
1. Alat pengambilan contoh berupa
kantong plastik dengan volume 40 liter.
2. Alat pengukuran volume contoh berupa kotak
berukuran 20 cmx20cmx100cm, yang dilengkapi dengan skala tingi:
- Timbangan (0-5)kg dan (0-100) kg;
- alat pengukur,volume contoh berupa bak berukuran (1,0mx0,5mx1,0m)yang dilengkapi dengan skala tinggi;
- perlengkapan berupa alat pemindah (seperti sekop) dan sarung tangan.
g. Cara
Pengerjaan
Cara pengambilan dan pengukuran contoh
dari lokasi perumahan adalah sebagai berikut :
1. Tentukan lokasi pengambilan contoh;
2. tentukan jumlah tenaga pelaksana;
3. siapkan peralatan;
4. lakukan pengambilan dan pengukuran
contoh timbulan dan komposisi sampah sebagai berikut :
- Bagikan kantong plastik yang sudah diberi tanda kepada sumber sampah 1 hari sebelum dikumpulkan;
- catat jumlah unit masing-masing penghasil sampah;
- kumpulkan kantong plastik yang sudah terisi sampah;
- angkut seluruh kantong plastik ke tempat pengukuran;
- timbang kotak pengukur;
- tuang secara bergiliran contoh tersebut ke kotak pengukur 40 liter
- hentak 3 kali kotak contoh dengan mengangkat kotak setinggi 20 cm, lalu jatuhkan ke tanah;
- ukur dan catat volume sampah (Vs);
- timbang dan catat berat sampah (Bs);
- timbang bak pengukur 500 liter;
- campur seluruh contoh dari setiap lokasi pengambilan dalam bak pengukur 500 liter
- ukur dan catat volume sampah;
- timbang dan catat volume sampah;
- pilah contoh berdasarkan komponen komposisi sampah;
- timbang dan catat berat sampah;
- hitunglah komponen komposisi sampah seperti contoh dalam lampiran A.
- bila akan dibawa ke laboratorium uji (pengujian karakteristik sampah) lakukan sub butir berikut ini :
·
Ambil dari
tiap koponen contoh seberat (lihat contoh perhitungan pada lampira A);
·
aduk merata
contoh-contoh tersebut dan diasukkan dalam kantong plastik ditutup rapat dan
diangkut ke laboratorium.
Cara pengerjaan pengambilan dan pengukuran contoh
dari lokasi non perumahan
1. Lokasi toko, sekolah, dan kantor
a. Tentukan lokasi pengambilan contoh;
b. tentukan jumlah tenaga pelaksanan;
c. siapkan peralatan.
2. Laksanakan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan sampah sebagai
berikut :
- Bagikan kantong plastik yang sudah diberi tanda kepada sumber sampah 1 hari sebelum dikumpulkan;
- catat jumlah unit masing-masing penghasil sampah;
- kumpulkan kantong pastik yang sudah terisi sapah;
- angkut seluruh kantong plastik je tempat pengukurn;
- timbang kotak pengukur;
- tuang secara bergiliran contoh tersebut ke kotak pengukur 40 l;
- hentak 3 kali kotak contoh dengan mengangkat kotak setinggi 20 cm, lalu jatuhkan ke tanah;
- ukur dan catat volume sampah (Vs);
- timbang dan catat berat sampah (Bs);
- timbang bak pengukur 500 liter
- campur seluruh contoh dari setiap lokasi pengambilan dalam bak pengukur 500 l;
- ukur dan catat volume sampah;
- timbang dan catat berat sampah;
- pilah contoh berdasarkan kompoanen komposisi sampah;
- timbang dan catat berat sampah
- hitunglah komponen komposisis sampah seperti contoh dalam lampiran A.
- bila akan dibawa ke laboratorium uji ( pengujian karakteristik sampah) akukan sub butir berikut ini:
·
Aduk merata
contoh-contoh tersebut dan dimasukkan dalam katong plastik ditutup rapat dan
diangkat ke laboratorium;
·
Ambil ari
tiap komponen contoh seberat (lihat contoh perhitungan pada lampiran A).
h.
Laporan Pengambilan Contoh
Lapangan
Hasil pemeriksaan dilaporkan dalam catatan lapangan ( lihat lampiran )
dengan mencamtumkan isi sebagai berikut:
1.
Umum, berisi
nama daerah, nama lokasi, kriteria lokai, tanggal dan waktu, keadaan cuaca dan
nama pelaksana
2.
Hasil
pemeriksaan
Formulir
data
Data dan catatan lapangan dipindahkan ke formulir
BAB III
PROSEDUR
PERCOBAAN
3.1
Alat dan Bahan
1.
Sampel;
2.
Wadah yang sudah diketahui
volumenya;
3.
Timbangan;
4.
Sekop;
5.
Sarung tangan;
6.
Masker.
3.2
Cara Kerja
1.3.1
Berat Jenis dan Timbulan
a.
Ambil sampel sampah dari sumber
yang telah ditentukan;
b.
Hitung volume wadah yang ada;
a.
Aduk sampel tersebut, masukkan
ke dalam wadah yang ada sampai penuh (tanpa pemadatan);
c.
Ketukkan wadah tersebut tiga
kali kelantai;
a.
Hitung volume sampah tersebut
setelah diketuk (dalam satuan liter);
d.
Timbang berat sampel dalam
wadah (dalam kg);
e.
Lakukan perhitungan
- Berat jenis sampah =
-
Timbulan = Berat sampel : Jumlah orang/hari
Berat sampel : Luas wilayah/hari
1.2.2
Komposisi Sampah
a.
Sampel sampah dipilah-pilah
berdasarkan komponen (plastik, bahan organik, karet, kayu, dlll);
b.
Setiap komponen hasil pemilahan
ditimbang;
c.
Contoh perhitungan :
% Plastik =
2. PENETAPAN KADAR N TOTAL
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan organik adalah bahan dari tanah yang merupakan
suatu system kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman atau
binatang yang terdapat dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan
bentuk, karena dipengaruhi faktor biologi, kimia dan fisika. Menurut Stevenson
(1994), bahan organik tanah adalah semua senyawa organic yang terdapat dalam
tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme,
bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus
(Anonim A, 2010).
Total
Nitrogen merupakan nutrisi penting bagi
tanaman dan hewan. Namun, jumlah kelebihan
nitrogen di perairan
yang dapat menyebabkan
rendahnya tingkat oksigen terlarut dan negatif
mengubah berbagai tanaman hidup dan organisme.
Sumber nitrogen meliputi:
instalasi pengolahan air limbah, limpasan dari rumput
dibuahi dan lahan
pertanian, gagal sistem septik, limpasan dari
pupuk kandang dan area penyimpanan, dan
limbah industri yang mengandung inhibitor korosi (Anonim B, 2010).
Ada
tiga bentuk nitrogen
yang biasanya diukur
dalam badan air:,
amonia nitrat dan
nitrit. Nitrogen total
adalah jumlah total kjeldahl nitrogen (nitrogen
organik dan berkurang), amonia, dan nitrat-nitrit. Hal ini dapat diturunkan
dengan pemantauan untuk nitrogen total
kjeldahl (TKN), amonia
dan nitrat-nitrit
individual dan menambahkan
komponen bersama-sama. Rentang yang dapat diterima dari total nitrogen adalah 2 mg / L sampai 6 mg / L, meskipun disarankan
untuk memeriksa suku, negara, atau standar
federal untuk perbandingan
yang memadai data Anda (Anonim B, 2010).
Metode Kjeldahl
Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen
total pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sampel
didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai
sehingga akan menghasilkan amonium sulfat. Setelah pembebasan dengan alkali
kuat, amonia yang terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan
penyerap dan ditetapkan secara titrasi. Metode ini telah banyak mengalami
modifikasi. Metode ini cocok digunakan secara semimikro, sebab hanya memerlukan
jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan waktu analisa yang pendek. Metode ini
kurang akurat bila diperlukan pada senyawa yang mengandung atom nitrogen yang
terikat secara langsung ke oksigen atau nitrogen. Tetapi untuk zat-zat seperti
amina,protein,dan lain – lain hasilnya lumayan (Anonim C, 2010).
Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan
makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah
kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan angka
konversi 6,25, diperoleh nilai protein dalam bahan makanan itu. Untuk beras,
kedelai, dan gandum angka konversi berturut-turut sebagai berikut: 5,95, 5,71,
dan 5,83. Angka 6,25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya
mengandung 16% nitrogen (Anonim
C, 2010).
Prinsip cara analisis Kjeldahl
adalah sebagai berikut: mula-mula bahan didestruksi dengan asam sulfat pekat
menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi
ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl pada umumnya
dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimakro (Anonim C, 2010);
1. Cara makro
Kjeldahl digunakan untuk contoh yang sukar dihomogenisasi dan besar contoh 1-3
g
2. Cara semimikro Kjeldahl dirancang untuk contoh ukuran kecil yaitu kurang
dari 300 mg dari bahan yang homogen.
Cara analisis tersebut akan
berhasil baik dengan asumsi nitrogen dalam bentuk ikatan N-N dan N-O dalam
sampel tidak terdapat dalam jumlah yang besar. Kekurangan cara analisis ini
ialah bahwa purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina,
dan kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein. Walaupun
demikian, cara ini kini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran
kadar protein dalam bahan makanan.
Analisa protein cara Kjeldahl
pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses
destilasi dan tahap titrasi (Anonim
C, 2010).
Teknologi
pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik.
Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah
untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan control proses yang terlalu sulit.
Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri
dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan
mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik
(Anonim D, 2010).
Pemberian kompos dapat memperbaiki struktur tanah.
Pada tanah pasiran, pemberian kompos dapat meningkatkan daya ikat partikel
tanah sehingga strukturnya menjadi lemah. Kompos dapat meningkatkan kapasitas
menahan air, aktivitas mikroorganisme di dalam tanah dan kesediaan unsur hara
tanah. Tetapi penggunaan kompos yang mutunya rendah dapat mengakibatkan
kerusakan tanaman C/N yang terlalu tinggi atau karena ammonia yang
dihasilkannya. Jika C/N kompos yang diberikan ke dalam tanah terlalu tinggi
mengakibatkan tanaman kekeurangan Nitrogen (ISW, 2010).
Faktor-faktor yang memperngaruhi
proses pengomposan antara lain (Anonim E,
2010):
1.
Rasio C/N
Rasio
C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1.
Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk
sintesis protein.
2.
Ukuran Partikel
Aktivitas
mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih
luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses
dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya
ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat
dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3.
Aerasi
Aerasi
secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan
udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
4.
Porositas
Porositas
adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
5.
Kelembaban
Kelembaban
40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.
6.
Temperatur/suhu
Panas
dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu
dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi
oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat
terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. pH
pH
yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5.
7.
Kandungan Hara
Kandungan
P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam
kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama
proses pengomposan.
8.
Kandungan Bahan Berbahaya
Logam-logam
berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, dan Cr adalah beberapa bahan yang termasuk
kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses
pengomposan.
9.
Lama pengomposan
Lama
waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan. Secara
alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun
hingga kompos benar-benar matang.
BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN
3.1
Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1.
Neraca
analitik;
2.
Oven;
3.
Desikator;
4.
Labu didih
250 ml;
5.
Pipet
tetes;
6.
Gelas ukur
10 ml;
7.
Gelas ukur
50 ml;
8.
Gelas ukur
100 ml;
9.
Erlenmeyer
300 ml;
10. Erlenmeyer 200 ml;
11. Buret;
12. Statip;
13. Bola hisap;
14. Botol semprot;
15. Spatula;
16. Bunsen;
17. Tang krus;
18. Cawan penguap;
19. Lumpang dan alu;
20. Batu didih;
21. Destilator.
1.1.2 Bahan
1.1.2.1 Destruksi
1. H2SO4 pekat (95-97%);
2. Campuran selen p.a.
1.1.2.2 Destilasi
1. Asam Borat 1 %;
2. NaOH 40 %;
3. Batu didih;
4. Penunjuk Conway;
5. Larutan Baku Asam Sulfat 1 N;
6. H2SO4 4 N;
7. Larutan Baku Asam Sulfat 0,05 N.
1.2 Cara Kerja
3.2.1 Menghitung Kadar Air
1.
Sampel
sampah digerus hingga halus;
2.
Cawan
kosong dipanaskan pada oven di suhu 105 oC selama 1 jam, setelah itu
masukkan dalam desikator selama 15 menit, ditimbang dengan neraca analitik;
3.
Masukkan
sampel yang sudah digerus tadi ke dalam cawan, lalu ditimbang;
4.
Cawan yang
berisi sampel tersebut dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 oC
selama 1 jam, setelah itu masukkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu
ditimbang.
3.2.1 Menghitung Kadar N-Total
3.2.1.1 Destruksi Contoh
1. Ditimbang 1 gram sampel sampah, dimasukkan ke dalam tabung
digesti;
2.
Ditambah 1 gram selen, 3 ml asam sulfat pekat dan 2 ml hidrogen peroksida,
didiamkan semalaman;
3.
Keesokkan harinya didestruksi hingga suhu 350°C;
4.
Destruksi selesai bila keluar uap putih dan didapat ekstrak jernih;
5. Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian ekstrak diencerkan
dengan air bebas ion hingga tepat 100 ml;
6. Dikocok hingga homogen, ekstrak digunakan intuk pengukuran N
dengan cara destilasi.
3.2.1.2 Pengukuran N
1.
Dipindahkan secara kualitatif seluruh ekstrak contoh ke dalam labu didih;
2.
Ditambahkan sedikit serbuk batu didih dan aquades hingga setengah volume labu;
3.
Disiapkan penampung untuk NH3 yang dibebaskan yaitu Erlenmeyer yang
berisi 10 ml asam borat 1% yang ditambah 3 tetes indikator Conway dan
dihubungkan dengan alat destilasi;
4. Dengan
gelas ukur, ditambahkan NaOH 40% sebanyak 10 ml ke dalam batu didih yang berisi
contoh dan secepatnya ditutup;
5.
Didestilasi hingga volume penampung mencapai 50-75 ml (berwarna hijau);
6. Destilat
dititrasi dengan H2SO4 0,05 N hingga warna merah muda;
7. Dicatat volume titar
contoh (Vc) dan blangko (Vb).
1.3 Perhitungan
3.3.1 Kadar Air (%)
% Kadar Air =
3.3.2 Kadar N-Total (%)
Kadar Nitrogen (%) = (Vc-Vb)×N×14×100×mg
contoh-1×fk
Dimana:
Vc,b = ml titar
contoh dan blangko;
N =
normalitas larutan baku H2SO4;
14 = bobot setara nitrogen;
100 = konversi ke %;
fk = faktor koreksi kadar air = 100 / (100 - %
kadar air).
3. PENETAPAN KADAR C ORGANIK
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk
menentukan kadar C organik dari suatu sampel sampah.
1.2 Metoda Percobaan
Metoda yang digunakan dalam praktikum ini adalah metoda
spektrofotometri.
1.3 Prinsip Percobaan
Karbon sebagai senyawa organik akan mereduksi Cr6+
yang berwarna jingga menjadi Cr3+ yang berwarna hijau dalam suasana
asam. Intensitas warna hijau yang terbentuk setara dengan kadar karbon dan
dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan organik adalah bahan dari tanah yang merupakan
suatu system kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman atau
binatang yang terdapat dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan
bentuk, karena dipengaruhi faktor biologi, kimia dan fisika. Menurut Stevenson
(1994), bahan organik tanah adalah semua senyawa organic yang terdapat dalam
tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme,
bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus
(Anonim A, 2010).
C-Organik penting untuk mikroorganisme tidak hanya
sebagai unsur hara, tetapi juga sebagai pengkondisi sifat fisik tanah yang
mempengaruhi karakteristik agregat dan air tanah. Seringkali ada hubungan
langsung antara presentase C-organik total dan karbon dari biomassa mikroba
yang ditemukan dalam tanah pada zona iklim yang sama. C-organik juga
berhubungan dengan aktivitas enzim tanah. Di perkebunan teh Gambung, C-organik
tanah juga digunakan untuk menentukan dosis asam-asam organik dan apabila
ditambahkan ke dalam tanah akan meningkatkan kandungan senyawa organik dalam
tanah yang dicirikan dengan meningkatnya kadar C-organik tanah (Darliana,
2009).
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik
secara aerobik maupun anaerobik. Pengomposan secara aerobik paling banyak
digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan
control proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh
mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan
pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan
udara dalam mendegradasi bahan organik (Anonim B, 2010).
Hasil akhir dari pengomposan merupakan bahan yang sangat dibutuhkan untuk
kepentingan tanah-tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki
sifat kimia, biologi, dan fisika tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih
tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah dapat digunakan untuk
menguatkan lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanaman, sebagai bahan
penutup sampah di TPA, eklamasi pantai, dan sebagai media tanaman, serta
mengurangi penggunaan pupuk kimia (Anonim B, 2010).
Masalah penurunan bahan organik tanah yang
menyebabkan kebutuhan pemupukan yang semakin meningkat. Masalah ini dapat
diatasi dengan perbaikan praktek manajemen terhadap kondisi tanah pertanian.
Kandungan bahan organik dikebanyakan tanah saat ini terdapat indikasi semakin
merosot. Sekitar 80% lahan sawah kandungan C-organiknya kurang dari 1%. Hal ini
menyebabkan tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup, disamping itu
unsur hara yang diberikan melalui pupuk tidak mampu dipegang oleh
komponen-komponen tanah. Pada tanah dengan kandungan C-organik rendah
menyebabkan kebutuhan pemupukan nitrogen semakin meningkat karena efisiensinya
yang merosot akibat tingginya kadar pencucian (Sumarsono, 2001).
Pupuk organic yang dikembalikan melalui pupuk
kandang selain sebagai sumber bahan organik tanah juga sebagai unsur hara bagi
pertumbuhan tanaman. Bahan organic memegang peranan penting pada tanah tropis,
karena hampir semua unsur terdapat di dalamnya. Kapasitas tukar kation tanah
yang tinggi terkait dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Ada hubungan
antara P-tersedia dengan kandungan bahan organik tanah. Hubungan nyata antara
bahan organik tanah dengan P-tersedia apabila kandungan bahan organic lebih
dari 3%. Bahan organik tanah mencegah pengendapan unsur fosfor oleh aluminium
dan besi (Sumarsono, 2001).
Karbon organik tanah bersumber dari hasil
dekomposisi bahan organik yang berada dalam tanah. Bahan organik ini dalam
bentuk sisa tanaman dan hewan. Adapun bahan-bahan organik yang diberikan ke
tanah seperti kompos dan pupuk kandang. Kadar C-organik yang merupakan salah
satu parameter yang menentukan kesuburan tanah (Wahyu Askari, 2010).
Pemberian kompos dapat memperbaiki struktur tanah.
Pada tanah pasiran, pemberian kompos dapat meningkatkan daya ikat partikel tanah
sehingga strukturnya menjadi lemah. Kompos dapat meningkatkan kapasitas menahan
air, aktivitas mikroorganisme di dalam tanah dan kesediaan unsur hara tanah.
Tetapi penggunaan kompos yang mutunya rendah dapat mengakibatkan kerusakan
tanaman C/N yang terlalu tinggi atau karena ammonia yang dihasilkannya. Jika
C/N kompos yang diberikan ke dalam tanah terlalu tinggi mengakibatkan tanaman
kekeurangan Nitrogen (ISW, 2010).
Kandungan C-organik pada kompos turun karena bahan
organik mengalami dekomposisi yang dibantu mikroorganisme yang diebrikan. Pada
proses dekomposisi secara aerobic, mikroorganisme yang menggunakan oksigen
untuk menguraikan bahan organik dan mengasimilasi karbon, nitrogen, fosfor,
sulfur, dan unsur lainnya, untuk mensintesa protoplasma sel mereka. (ISW,
2010).
Faktor-faktor yang memperngaruhi
proses pengomposan antara lain (Anonim E,
2010):
1.
Rasio C/N
Rasio
C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1.
Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk
sintesis protein.
2.
Ukuran Partikel
Aktivitas
mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih
luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses
dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya
ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat
dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3.
Aerasi
Aerasi
secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan
udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
4.
Porositas
Porositas
adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
5.
Kelembaban
Kelembaban
40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.
6.
Temperatur/suhu
Panas
dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan
suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak
konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan
suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. pH
pH
yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5.
7.
Kandungan Hara
Kandungan
P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam
kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama
proses pengomposan.
8.
Kandungan Bahan Berbahaya
Logam-logam
berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, dan Cr adalah beberapa bahan yang termasuk
kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses
pengomposan.
9.
Lama pengomposan
Lama
waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan. Secara
alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun
hingga kompos benar-benar matang.
BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1.
Neraca
analitik;
2.
Oven;
3.
Desikator;
4.
Labu ukur 100
ml;
5.
Gelas ukur 10
ml;
6.
Pipet takar
5 ml;
7.
Bola hisap;
8.
Spatula;
9.
Cawan
penguap;
10. Lumpang dan alu;
11. Kuvet spektro;
12. Spektrofotometer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar