Jumat, 16 September 2011

LABORATORIUM BUANGAN PADAT (PENGELOLAAN SAMPAH)


 1. BERAT JENIS DAN KOMPOSISI SAMPAH


 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum dalam Pengelolaan Buangan Padat ini adalah untuk mengetahui berat jenis, dan komposisi sampah yang dihasilkan Kelurahan Belakang Pondok yang digunakan sebagai data perencanaan dan pengelolaan sampah di kelurahan tersebut.
1.2  Prinsip Praktikum
Untuk mengetahui berat jenis, timbulan, dan kompoisi sampah, dalam melakukan metode sampling didasarkan kepada SNI 19-3964-119.
1.      Berat Jenis
Sampah diukur berat dan volumenya dalam suatu wadah yang diketahui volumenya.
2.      Komposisi
Sampah dipilah-pilah berdasarkan komponennya.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Buangan padat atau sampah adalah segala sesuatu yang tidak diinginkan keberadaannya oleh manusia pada waktu tertentu. Pada awalnya sampah tidaklah menjadi masalah bagi manusia dan lingkungan karena sampah yang dibuang ke tanah karena jumlahnya yang sedikit sehingga masih dapat diolah sendiri oleh alam, namun sekarang jumlah manusia yang membuang sampah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dari luas area tanah penerimanya sehingga dibutuhkan sebuah bentuk pengolahan oleh manusia agar tidak menimbulkan dampak terhadap manusia dan lingkungan.
Sampah merupakan buangan padat atau setengah padat terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang kehadirannya tidak diinginkan atau tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak mengganggu lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (SNI 19-2454-1991).
Sumber sampah dapat berasal dari kegiatan penghasil sampah seperti pasar, rumah tangga, pertokoan, penyapuan jalan, taman, atau tempat umum lainnya dan kegiatan lain dimana sampah tersebut berkemungkinan mengandung limbah berbahaya, seperti sisa baterai, sisa oli/minyak rem mobil, sisa bekas pemusnah nyamuk, sisa biosida tanaman dan sebagainya.
Sistem pengelolaan persampahan terbagi atas dua jenis, yaitu ( Damanhuri, 2004):
1.      Pengelolaan individu
2.      Pengelolaan perkotaan
Sistem pengelolaan persampahan ini mempunyai 5 komponen aspek, yaitu:
a.       aspek teknis operasional;
b.      aspek pengaturan (legal);
c.       aspek pembiayaan;
d.      aspek institusi;
e.       aspek peran serta masyarakat.


Data mengenai timbulan, komposisi, dan karakteristik sampah merupakan hal yang sangat menunjang dalam menyusun sistem pengolahan persampahan di suatu wilayah dan data tersebut harus tersedia agar dapat disusun suatu alternatif sistem pengolahan sampah yang baik.
Menurut Damanhuri (2004) sampah dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal seperti dibawah ini, yaitu:
1.   Klasifikasi sampah berdasarkan sumbernya antara lain:
a.       Sampah permukiman;
b.      Sampah daerah komersil;
c.       Sampah institusi;
d.      Sampah konstruksi dan pembongkaran bangunan;
e.       Sampah fasilitas umum;
f.       Sampah kawasan industri;
g.      Sampah pertanian.
2.   Berdasarkan cara penanganan dan pengolahan sampah dibedakan berdasarkan:
a.       Komponen yang mudah membusuk;
b.      Komponen bervolume besar dan mudah terbakar;
c.       Komponen bervolume besar dan sulit terbakar;
d.      Komponen kecil dan sulit terbakar;
e.       Wadah bekas;
f.       Tabung bertekanan/gas;
g.      Serbuk dan abu;
h.      Lumpur baik organk maupun non organik;
i.        Puing bangunan;
j.        Kendaraan terpakai;
k.      Sampah radioaktif.
3.   Klasifikasikan sampah dari negara industri dibedakan atas:
a.       Sampah organik mudah membusuk (garbage);
b.      Sampah organik tak membusuk (rubbish);
c.       Sampah sisa abu pembakaran penghangat rumah (ashes);
d.      Sampah bangkai binatang;
e.       Sampah sapuan jalan;
f.       Sampah buangan konstruksi.
4.   Klasifikasi sampah berdasarkan komposisi antara lain:
a.       Sampah seragam seperti kertas, karton;
b.      Sampah tidak seragam (campuran).
5.   Berdasarkan status pemukiman sampah dibedakan atas:
a.       Sampah kota;
b.      Pedesaan.
6. Berdasarkan sifat-sifat biologis dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadikan:
a.       Sampah yang dapat membusuuk (garbage);
b.      Sampah yang tidak membusuk (refuse);
c.       Sampah berupa debu dan abu;
Berdasarkan kandungan bahan organik dan anorganik sampah dapat digolongkan atas (Tchobanoglous, 1993):
1.      Garbage (sampah basah)
Contoh: sampah makanan.
2.      Rubbish (sampah kering)
mudah membusuk dan terdekomposisi, serta tidak mengandung air.
Contoh: Metal; sampah yang mengandung logam berat seperti Be, Cd, Cr, dan Hg.
3.      Dust/Ashes (sampah halus)
Contoh: serbuk gergaji asbes (dust), dan pembakaran (ashes).
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan sampah :
·         Masalah Estetika (Keindahan);
·         Menjadi Vektor Penyakit;
·         Mencemari Udara serta badan air;
·         Serta menimbulkan bahaya kebakaran.


Untuk menghindari hal tersebut diharapkan keseriusan pemerintah serta keikutsertaan masyarakat dalam pengolahan persampahan. Untuk melakukan pengelolaan persampahan yang baik harus diketahui komposisi serta karakteristik sampah. Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya, seperti:
§  Karakteriktik Fisika, dilihat dari :
-          Kadar air;
-          Kadar Volatil;
-          Kadar Abu;
-          Nilai karbon, dll.
·         Karakteristik Kimia : khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah tersebut yang terdiri dari unusr C, N, O, P, H, S dan sebagainya.
·         Karakteristik Biologi : Biodegrabilitas
Beberapa faktor yang mempengaruh komposisi sampah antara lain (Damanhuri, 2004):
a.    Cuaca;
b.    Frekuensi pengumpulan;
c.    Musim;
d.   Tingkat sosial ekonomi;
e.    Pendapatan perkapita;
f.     Kemasan produk.
Timbulan sampah yaitu jumlah atau banyaknya sampah yang dihasilkan setiap orang per hari di suatu daerah. Timbulan sampah dinyatakan dalam (Damanhuri, 2004):
a.         Satuan berat         : kilogram perorang perhari (Kg/org/h) atau kilogram per meter persegi bangunan perhari (Kg/m2/h) atau kilogram per tempat tidur per hari (Kg/bed/h) dan sebagainya;
b.        Satuan volume     : liter/orang/hari (L/o/h) liter per meter persegi bangunan perhari (L/m2/h).



Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi penyelenggaraan pembangunan dalam melakukan pengambilan keputusan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah untuk suatu kota. Yang dimaksud dengan:
1.      Contoh timbulan sampah adalah sampah yang diambil dari lokasi pengambilan terpilih, untuk diukur volumenya dan ditimbang beratnya dan diukur komposisinya;
2.      Komponen komposisi sampah adalah komponen fisik sampah seperti sisa-sisa makanan, kertas, kayu, kain-tekstil, karet-kulit, plastik, logam besi-non besi, kaca dan lain-lain (misalnya tanah, pasir, batu, keramik).
Persyaratan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah meliputi:
1.      Peraturan-peraturan dan petunjuk di bidang persampahan yang berlaku di daerah;
2.      Lokasi dan waktu pengambilan yang dipilih harus dapat mewakili suatu kota;
3.      Alat pengambil dan pengukur contoh, yaitu:
a.       Terbuat dari bahan yang tidak mempengaruhi sifat contoh;
b.      Mudah dicuci dari bekas contoh sebelumnya.
 
Berat jenis sampah dapat diketahui dengan cara sebagai berikut:
Berat jenis sampah =
Dilihat dari perumusannya, semakin berat massa sampel maka berat jenis sampah semakin besar, sedangkan terhadap volume sampah berlaku sebaliknya, semakin kecil volume sampah maka nilai berat jenis semakin besar.
Metoda Pengambilan dan Pengukuran Sampel Timbulan dan Komposisi Sampah berdasarkan SNI 19 – 3964 - 1994
a.  Maksud
Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan Dan Komposisi sampah Perkotaan ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi penyelengaraan pembangunan dalam melakukan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah untuk suatu kota.

b. Tujuan
Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan besaran timbulan sampah yang digunakan dalam perencanaan dan pengelolaan sampah.
c. Ruang Lingkup
Metode ini berisi pengertian, persyaratan, ketentuan, cara pelaksanaan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah untuk suatu kota.
d. Pengertian
Yang dimaksud dengan contoh timbulan sampah adalah sampah yang diambil dari lokasi pengambilan terpilih, untuk diukur volumenya dan ditimbang beratnya dan diukur komposisinya.
Komponen komposisi sampah adalah komponen fisik sampah seperti sisa-sisa makanan,kertas-katon,kayu,kain-tekstil,karet-kulit,plastik,logam besi-non besi, kaca dan lain-lain ( misalnya tanah, pasir, batu, keramik).
e. Persyaratan-persyaratan
Pesyaratan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah meliputi:
1.      Peratuaran-peraturan dan petunjuk di bidang persampahan yang berlaku di daerah;
2.      Lokasi dan waktu pengambilan yang dipilih harus dapat mewakili suatu kota;
3.      Alat pengambil dan pengukur contoh. yaitu:
a.       Terbuat dari bahan yang tidak mempengaruhi sifat contoh (tidak terbuat dari logam);
b.      Mudah dicuci dari bekas contoh sebelumnya.
f. Pelaksanaan           
Langkah-langkah pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 2.3 Langkah-langkah Pengambilan dan
Pengukuran Contoh Timbulan Sampah
1. Pengambilan Contoh
Lokasi
Lokasi pengambilan contoh timbulan sampah dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu:
1.       Perumahan yang terdiri dari:
·         Permanen pendapatan tinggi;
·         semi permanen pendapatan sedang;
·         non permanen pendapatan rendah.
2.       Non perumahan yang terdiri dari :
·         Toko;
·         kantor;
·         sekolah;
·         pasar;
·         jalan;
·         hotel;
·         restoran, rumah makan;
·         fasilitas umum lainnya.
Peralatan dan Perlengkapan
Peralatan dan perlengkapan yang digunakan terdiri dari :
1.   Alat pengambilan contoh berupa kantong plastik dengan volume 40 liter.
2.    Alat pengukuran volume contoh berupa kotak berukuran 20 cmx20cmx100cm, yang dilengkapi dengan skala tingi:
  • Timbangan (0-5)kg dan (0-100) kg;
  • alat pengukur,volume contoh berupa bak berukuran (1,0mx0,5mx1,0m)yang dilengkapi dengan skala tinggi;
  • perlengkapan berupa alat pemindah (seperti sekop) dan sarung tangan.
g. Cara Pengerjaan
Cara pengambilan dan pengukuran contoh  dari lokasi perumahan adalah sebagai berikut :
1. Tentukan lokasi pengambilan contoh;
2. tentukan jumlah tenaga pelaksana;
3. siapkan peralatan;
4. lakukan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah sebagai berikut :
  1. Bagikan kantong plastik yang sudah diberi tanda kepada sumber sampah 1 hari sebelum dikumpulkan;
  2. catat jumlah unit masing-masing penghasil sampah;
  3. kumpulkan kantong plastik yang sudah terisi sampah;
  4. angkut seluruh kantong plastik ke tempat pengukuran;
  5. timbang kotak pengukur;
  6. tuang secara bergiliran contoh tersebut ke kotak pengukur 40 liter
  7. hentak 3 kali kotak contoh dengan mengangkat kotak setinggi 20 cm, lalu jatuhkan ke tanah;
  8. ukur dan catat volume sampah (Vs);
  9. timbang dan catat berat sampah (Bs);
  10. timbang bak pengukur 500 liter;
  11. campur seluruh contoh dari setiap lokasi pengambilan dalam bak pengukur 500 liter
  12. ukur dan catat volume sampah;
  13. timbang dan catat volume sampah;
  14. pilah contoh berdasarkan komponen komposisi sampah;
  15. timbang dan catat berat sampah;
  16. hitunglah komponen komposisi sampah seperti contoh dalam lampiran A.
  17. bila akan dibawa ke laboratorium uji (pengujian karakteristik sampah) lakukan sub butir berikut ini :
·         Ambil dari tiap koponen contoh seberat (lihat contoh perhitungan pada lampira A);
·         aduk merata contoh-contoh tersebut dan diasukkan dalam kantong plastik ditutup rapat dan diangkut ke laboratorium.
Cara pengerjaan pengambilan dan pengukuran contoh dari lokasi non perumahan
1. Lokasi toko, sekolah, dan kantor
a.       Tentukan lokasi pengambilan contoh;
b.      tentukan jumlah tenaga pelaksanan;
c.       siapkan peralatan.
2. Laksanakan pengambilan dan pengukuran contoh timbulan sampah sebagai berikut :
  1. Bagikan kantong plastik yang sudah diberi tanda kepada sumber sampah 1 hari sebelum dikumpulkan;
  2. catat jumlah unit masing-masing penghasil sampah;
  3. kumpulkan kantong pastik yang sudah terisi sapah;
  4. angkut seluruh kantong plastik je tempat pengukurn;
  5. timbang kotak pengukur;
  6. tuang secara bergiliran contoh tersebut ke kotak pengukur 40 l;
  7. hentak 3 kali kotak contoh dengan mengangkat kotak setinggi 20 cm, lalu jatuhkan ke tanah;
  8. ukur dan catat volume sampah (Vs);
  9. timbang dan catat berat sampah (Bs);
  10. timbang bak pengukur 500 liter
  11. campur seluruh contoh dari setiap lokasi pengambilan dalam bak pengukur 500 l;
  12. ukur dan catat volume sampah;
  13. timbang dan catat berat sampah;
  14. pilah contoh berdasarkan kompoanen komposisi sampah;
  15. timbang dan catat berat sampah
  16. hitunglah komponen komposisis sampah seperti contoh dalam lampiran A.
  17. bila akan dibawa ke laboratorium uji ( pengujian karakteristik sampah) akukan sub butir berikut ini:
·         Aduk merata contoh-contoh tersebut dan dimasukkan dalam katong plastik ditutup rapat dan diangkat ke laboratorium;
·         Ambil ari tiap komponen contoh seberat (lihat contoh perhitungan pada lampiran A).
h. Laporan Pengambilan Contoh
Lapangan
Hasil pemeriksaan dilaporkan dalam catatan lapangan ( lihat lampiran ) dengan mencamtumkan isi sebagai berikut:
1.      Umum, berisi nama daerah, nama lokasi, kriteria lokai, tanggal dan waktu, keadaan cuaca dan nama pelaksana
2.      Hasil pemeriksaan
Formulir data
Data dan catatan lapangan dipindahkan ke formulir



BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN
3.1  Alat dan Bahan
1.      Sampel;
2.      Wadah yang sudah diketahui volumenya;
3.      Timbangan;
4.      Sekop;
5.      Sarung tangan;
6.      Masker.
3.2  Cara Kerja
1.3.1   Berat Jenis dan Timbulan
a.          Ambil sampel sampah dari sumber yang telah ditentukan;
b.         Hitung volume wadah yang ada;
a.         Aduk sampel tersebut, masukkan ke dalam wadah yang ada sampai penuh (tanpa pemadatan);
c.          Ketukkan wadah tersebut tiga kali kelantai;
a.         Hitung volume sampah tersebut setelah diketuk (dalam satuan liter);
d.         Timbang berat sampel dalam wadah (dalam kg);
e.          Lakukan perhitungan
-       Berat jenis sampah =  
-       Timbulan                 = Berat sampel : Jumlah orang/hari
                                       Berat sampel : Luas wilayah/hari
1.2.2        Komposisi Sampah
a.         Sampel sampah dipilah-pilah berdasarkan komponen (plastik, bahan organik, karet, kayu, dlll);
b.         Setiap komponen hasil pemilahan ditimbang;
c.         Contoh perhitungan :
% Plastik =



2. PENETAPAN KADAR N TOTAL

 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bahan organik adalah bahan dari tanah yang merupakan suatu system kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman atau binatang yang terdapat dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi faktor biologi, kimia dan fisika. Menurut Stevenson (1994), bahan organik tanah adalah semua senyawa organic yang terdapat dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus (Anonim A, 2010).
Total Nitrogen merupakan nutrisi penting bagi tanaman dan hewan. Namun, jumlah kelebihan nitrogen di perairan yang dapat menyebabkan rendahnya tingkat oksigen terlarut dan negatif mengubah berbagai tanaman hidup dan organisme. Sumber nitrogen meliputi: instalasi pengolahan air limbah, limpasan dari rumput dibuahi dan lahan pertanian, gagal sistem septik, limpasan dari pupuk kandang dan area penyimpanan, dan limbah industri yang mengandung inhibitor korosi (Anonim B, 2010).
Ada tiga bentuk nitrogen yang biasanya diukur dalam badan air:, amonia nitrat dan nitrit. Nitrogen total adalah jumlah total kjeldahl nitrogen (nitrogen organik dan berkurang), amonia, dan nitrat-nitrit. Hal ini dapat diturunkan dengan pemantauan untuk nitrogen total kjeldahl (TKN), amonia dan nitrat-nitrit individual dan menambahkan komponen bersama-sama. Rentang yang dapat diterima dari total nitrogen adalah 2 mg / L sampai 6 mg / L, meskipun disarankan untuk memeriksa suku, negara, atau standar federal untuk perbandingan yang memadai data Anda (Anonim B, 2010).
Metode Kjeldahl
Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan amonium sulfat. Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan ditetapkan secara titrasi. Metode ini telah banyak mengalami modifikasi. Metode ini cocok digunakan secara semimikro, sebab hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan waktu analisa yang pendek. Metode ini kurang akurat bila diperlukan pada senyawa yang mengandung atom nitrogen yang terikat secara langsung ke oksigen atau nitrogen. Tetapi untuk zat-zat seperti amina,protein,dan lain – lain hasilnya lumayan (Anonim C, 2010).
Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan angka konversi 6,25, diperoleh nilai protein dalam bahan makanan itu. Untuk beras, kedelai, dan gandum angka konversi berturut-turut sebagai berikut: 5,95, 5,71, dan 5,83. Angka 6,25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen (Anonim C, 2010).
Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah sebagai berikut: mula-mula bahan didestruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimakro (Anonim C, 2010);
1.      Cara makro Kjeldahl digunakan untuk contoh yang sukar dihomogenisasi dan besar contoh 1-3 g
2.      Cara semimikro Kjeldahl dirancang untuk contoh ukuran kecil yaitu kurang dari 300 mg dari bahan yang homogen.
Cara analisis tersebut akan berhasil baik dengan asumsi nitrogen dalam bentuk ikatan N-N dan N-O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah yang besar. Kekurangan cara analisis ini ialah bahwa purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina, dan kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein. Walaupun demikian, cara ini kini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar protein dalam bahan makanan.
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi (Anonim C, 2010).
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik. Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan control proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik (Anonim D, 2010).
Pemberian kompos dapat memperbaiki struktur tanah. Pada tanah pasiran, pemberian kompos dapat meningkatkan daya ikat partikel tanah sehingga strukturnya menjadi lemah. Kompos dapat meningkatkan kapasitas menahan air, aktivitas mikroorganisme di dalam tanah dan kesediaan unsur hara tanah. Tetapi penggunaan kompos yang mutunya rendah dapat mengakibatkan kerusakan tanaman C/N yang terlalu tinggi atau karena ammonia yang dihasilkannya. Jika C/N kompos yang diberikan ke dalam tanah terlalu tinggi mengakibatkan tanaman kekeurangan Nitrogen (ISW, 2010).
Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain (Anonim E, 2010):
1.      Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein.
2.      Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3.      Aerasi
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
4.      Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
5.      Kelembaban
Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.
6.      Temperatur/suhu
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. pH
pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5.
7.      Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.

8.      Kandungan Bahan Berbahaya
Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, dan Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
9.      Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.





BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1.        Neraca analitik;
2.        Oven;
3.        Desikator;
4.        Labu didih 250 ml;
5.        Pipet tetes;
6.        Gelas ukur 10 ml;
7.        Gelas ukur 50 ml;
8.        Gelas ukur 100 ml;
9.        Erlenmeyer 300 ml;
10.    Erlenmeyer 200 ml;
11.    Buret;
12.    Statip;
13.    Bola hisap;
14.    Botol semprot;
15.    Spatula;
16.    Bunsen;
17.    Tang krus;
18.    Cawan penguap;
19.    Lumpang dan alu;
20.    Batu didih;
21.    Destilator.
1.1.2   Bahan
1.1.2.1       Destruksi
1.    H2SO4 pekat (95-97%);
2.    Campuran selen p.a.


1.1.2.2       Destilasi
1.    Asam Borat 1 %;
2.    NaOH 40 %;
3.    Batu didih;
4.    Penunjuk Conway;
5.    Larutan Baku Asam Sulfat 1 N;
6.    H2SO4 4 N;
7.    Larutan Baku Asam Sulfat 0,05 N.
1.2  Cara Kerja
3.2.1 Menghitung Kadar Air
1.        Sampel sampah digerus hingga halus;
2.        Cawan kosong dipanaskan pada oven di suhu 105 oC selama 1 jam, setelah itu masukkan dalam desikator selama 15 menit, ditimbang dengan neraca analitik;
3.        Masukkan sampel yang sudah digerus tadi ke dalam cawan, lalu ditimbang;
4.        Cawan yang berisi sampel tersebut dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam, setelah itu masukkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang.
3.2.1 Menghitung Kadar N-Total
3.2.1.1 Destruksi Contoh
1.    Ditimbang 1 gram sampel sampah, dimasukkan ke dalam tabung digesti;
2.    Ditambah 1 gram selen, 3 ml asam sulfat pekat dan 2 ml hidrogen peroksida, didiamkan semalaman;
3.    Keesokkan harinya didestruksi hingga suhu 350°C;
4.    Destruksi selesai bila keluar uap putih dan didapat ekstrak jernih;
5.    Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 100 ml;
6.    Dikocok hingga homogen, ekstrak digunakan intuk pengukuran N dengan cara destilasi.
3.2.1.2 Pengukuran N
1. Dipindahkan secara kualitatif seluruh ekstrak contoh ke dalam labu didih;
2. Ditambahkan sedikit serbuk batu didih dan aquades hingga setengah volume labu;
3. Disiapkan penampung untuk NH3 yang dibebaskan yaitu Erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat 1% yang ditambah 3 tetes indikator Conway dan dihubungkan dengan alat destilasi;
4. Dengan gelas ukur, ditambahkan NaOH 40% sebanyak 10 ml ke dalam batu didih yang berisi contoh dan secepatnya ditutup;
5. Didestilasi hingga volume penampung mencapai 50-75 ml (berwarna hijau);
6. Destilat dititrasi dengan H2SO4 0,05 N hingga warna merah muda;
7. Dicatat volume titar contoh (Vc) dan blangko (Vb).
1.3    Perhitungan
3.3.1 Kadar Air (%)
% Kadar Air      =
3.3.2 Kadar N-Total (%)
Kadar Nitrogen (%) = (Vc-Vb)×N×14×100×mg contoh-1×fk
Dimana:
Vc,b                  =  ml titar contoh dan blangko;
N                       =  normalitas larutan baku H2SO4;
14                      =  bobot setara nitrogen;
100                    =  konversi ke %;
fk                       =  faktor koreksi kadar air = 100 / (100 - % kadar air).






3. PENETAPAN KADAR C ORGANIK

 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk menentukan kadar C organik dari suatu sampel sampah.
1.2  Metoda Percobaan
Metoda yang digunakan dalam praktikum ini adalah metoda spektrofotometri.
1.3  Prinsip Percobaan
Karbon sebagai senyawa organik akan mereduksi Cr6+ yang berwarna jingga menjadi Cr3+ yang berwarna hijau dalam suasana asam. Intensitas warna hijau yang terbentuk setara dengan kadar karbon dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan organik adalah bahan dari tanah yang merupakan suatu system kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman atau binatang yang terdapat dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi faktor biologi, kimia dan fisika. Menurut Stevenson (1994), bahan organik tanah adalah semua senyawa organic yang terdapat dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus (Anonim A, 2010).
C-Organik penting untuk mikroorganisme tidak hanya sebagai unsur hara, tetapi juga sebagai pengkondisi sifat fisik tanah yang mempengaruhi karakteristik agregat dan air tanah. Seringkali ada hubungan langsung antara presentase C-organik total dan karbon dari biomassa mikroba yang ditemukan dalam tanah pada zona iklim yang sama. C-organik juga berhubungan dengan aktivitas enzim tanah. Di perkebunan teh Gambung, C-organik tanah juga digunakan untuk menentukan dosis asam-asam organik dan apabila ditambahkan ke dalam tanah akan meningkatkan kandungan senyawa organik dalam tanah yang dicirikan dengan meningkatnya kadar C-organik tanah (Darliana, 2009).
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik. Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan control proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik (Anonim B, 2010).
Hasil akhir dari pengomposan  merupakan bahan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan tanah-tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki sifat kimia, biologi, dan fisika tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah dapat digunakan untuk menguatkan lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanaman, sebagai bahan penutup sampah di TPA, eklamasi pantai, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk kimia (Anonim B, 2010).
Masalah penurunan bahan organik tanah yang menyebabkan kebutuhan pemupukan yang semakin meningkat. Masalah ini dapat diatasi dengan perbaikan praktek manajemen terhadap kondisi tanah pertanian. Kandungan bahan organik dikebanyakan tanah saat ini terdapat indikasi semakin merosot. Sekitar 80% lahan sawah kandungan C-organiknya kurang dari 1%. Hal ini menyebabkan tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup, disamping itu unsur hara yang diberikan melalui pupuk tidak mampu dipegang oleh komponen-komponen tanah. Pada tanah dengan kandungan C-organik rendah menyebabkan kebutuhan pemupukan nitrogen semakin meningkat karena efisiensinya yang merosot akibat tingginya kadar pencucian (Sumarsono, 2001).
Pupuk organic yang dikembalikan melalui pupuk kandang selain sebagai sumber bahan organik tanah juga sebagai unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Bahan organic memegang peranan penting pada tanah tropis, karena hampir semua unsur terdapat di dalamnya. Kapasitas tukar kation tanah yang tinggi terkait dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Ada hubungan antara P-tersedia dengan kandungan bahan organik tanah. Hubungan nyata antara bahan organik tanah dengan P-tersedia apabila kandungan bahan organic lebih dari 3%. Bahan organik tanah mencegah pengendapan unsur fosfor oleh aluminium dan besi (Sumarsono, 2001).
Karbon organik tanah bersumber dari hasil dekomposisi bahan organik yang berada dalam tanah. Bahan organik ini dalam bentuk sisa tanaman dan hewan. Adapun bahan-bahan organik yang diberikan ke tanah seperti kompos dan pupuk kandang. Kadar C-organik yang merupakan salah satu parameter yang menentukan kesuburan tanah (Wahyu Askari, 2010).
Pemberian kompos dapat memperbaiki struktur tanah. Pada tanah pasiran, pemberian kompos dapat meningkatkan daya ikat partikel tanah sehingga strukturnya menjadi lemah. Kompos dapat meningkatkan kapasitas menahan air, aktivitas mikroorganisme di dalam tanah dan kesediaan unsur hara tanah. Tetapi penggunaan kompos yang mutunya rendah dapat mengakibatkan kerusakan tanaman C/N yang terlalu tinggi atau karena ammonia yang dihasilkannya. Jika C/N kompos yang diberikan ke dalam tanah terlalu tinggi mengakibatkan tanaman kekeurangan Nitrogen (ISW, 2010).
Kandungan C-organik pada kompos turun karena bahan organik mengalami dekomposisi yang dibantu mikroorganisme yang diebrikan. Pada proses dekomposisi secara aerobic, mikroorganisme yang menggunakan oksigen untuk menguraikan bahan organik dan mengasimilasi karbon, nitrogen, fosfor, sulfur, dan unsur lainnya, untuk mensintesa protoplasma sel mereka. (ISW, 2010).
Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain (Anonim E, 2010):
1.      Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein.

2.      Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3.      Aerasi
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
4.      Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
5.      Kelembaban
Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.
6.      Temperatur/suhu
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. pH
pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5.
7.      Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
8.      Kandungan Bahan Berbahaya
Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, dan Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
9.      Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.



BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1.        Neraca analitik;
2.        Oven;
3.        Desikator;
4.        Labu ukur 100 ml;
5.        Gelas ukur 10 ml;
6.        Pipet takar 5 ml;
7.        Bola hisap;
8.        Spatula;
9.        Cawan penguap;
10.    Lumpang dan alu;
11.    Kuvet spektro;
12.    Spektrofotometer.